Membumikan Budaya Literasi Pada Peserta Didik


Bahasa Indonesia berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat karena bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang mesti dilestarikan. Tidak hanya dikuasai tetapi juga harus dipraktikkan dengan benar dalam berkomunikasi sehari-hari. Di zaman modern seperti ini kita harus menerapkan keterampilan berbahasa. Misalnya, jika peserta didik ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di luar provinsi maka kita berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa Indonesia.

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, ada empat kompetensi dasar yang mesti dikuasai oleh peserta didik. Keempat aspek tersebut itu adalah keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Dua kemampuan pertama merupakan kemampuan berbahasa yang tercakup dalam kemampuan orasi, sedangkan dua kemampuan kedua merupakan kemampuan yang tercakup dalam kemampuan literasi.

Dalam dunia pendidikan saat ini, permasalahan yang dialami oleh guru mata pelajaran bahasa Indonesia adalah keterampilan berbicara dan menulis. Secara umum peserta didik kesulitan berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa Indonesia dan menuangkan ide ke dalam tulisan.

Berbicara sudah barang tentu berhubungan erat dengan perkembangan kosakata yang diperoleh oleh sang anak; melalui kegiatan menyimak dan membaca (Tarigan, 2008:3)

Terampil berbicara adalah kemampuan siswa dalam menyampaikan ide-gagasan melalui bahasa lisan dan gaya yang menarik. Keterampilan ini penting dikuasai oleh peserta didik karena dalam kesehariannya, peserta didik berkomunikasi dengan orang lain lewat berbicara.

Semi (2003:2) menyatakan bahwa menulis itu tidak lain dari upaya memindahkan bahasa lisan ke dalam tulisan, dengan menggunakan lambang-lambang grafem. Namun, sering kali pula menulis dianggap sebagai salah satu keterampilan bahasa yang sulit, karena menulis dikaitkan dengan seni dan kiat.

Senada dengan itu, kegiatan menulis merupakan suatu aktifitas produktif  dalam menuangkan hasil olahan pemikiran yang berisikan ide, pikiran, gagasan, pengalaman yang mulanya hanya terdapat dalam pemikiran penulis dan kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan (Nursaid, 2008:1).

Menulis merupakan suatu kegiatan mengungkapkan sebuah gagasan untuk disampaikan kepada orang lain dengan menggunakan rangkaian kalimat yang logis dan terpadu. Oleh sebab itu, menulis membutuhkan pikiran yang baik untuk mengaplikasikannya ke dalam sebuah tulisan. Jika dihubungkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia, kegiatan tersebut termasuk ke dalam keterampilan menulis.

Keterampilan menulis termasuk salah satu aspek keterampilan berbahasa yang penting untuk dikuasai oleh peserta didik, baik sekolah maupun di luar sekolah. Melalui keterampilan menulis, siswa diharapkan mampu mengungkapkan pikiran, gagasan, dan pengalamannya dalam berbagai bentuk tulisan. Gagasan itu bisa bersifat fakta, pengalaman, dan pengamatan.

Berdasarkan pengalaman saya mengabdi lebih kurang 11 tahun di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi pada jenjang tsanawiyah, dalam mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia adalah berbicara dan menulis. Di daerah tempat saya mengajar, untuk berkomunikasi dengan guru masih terbawa bahasa ibu yang khas. Apalagi pribumi yang tinggal di lingkungan madrasah menggunakan dialek yang masih kental. Rata-rata penduduk di sana campuran Minang dan Jawa.

Saya harus beradaptasi dulu dengan lingkungan madrasah yang rata-rata penduduk di sana menggunakan bahasa Minang. Mengetahui arti dari kosakata yang diucapkan peserta didik yang berasal dari nagari yang berbeda-beda. Kemudian mengajak peserta didik untuk berkomunikasi dengan saya menggunakan bahasa Indonesia.

Ada ejekan dan cemooh yang terlontar dari mulut peserta didik jika ada temannya yang berbicara dengan saya menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi saya terus memberikan semangat kepada mereka untuk belajar berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia pelan-pelan dan hingga akhirnya terbiasa. Lain halnya dengan peserta didik yang berasal dari Jawa. Mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dilingkungan tempat tinggalnya sehingga tidak kesulitan lagi dalam berkomunikasi dengan teman maupun guru.

Selain berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, pembiasaan menggunakan bahasa Indonesia saya terapkan dalam mengambil ujian praktik seperti, wawancara antar teman, berpidato, dan mengungkapkan kembali cerita dengan menggunakan bahasa sendiri.

Permasalahan kedua adalah menulis. Sulitnya mengubah kebiasaaan peserta didik untuk menggunakan kaidah kebahasaan dengan menggunakan struktur yang benar. Contohnya, masih terdapat peserta didik yang menulis kalimat dengan penggunaan EYD yang tidak benar. Dalam menuliskan sebuah kalimat sering mempersingkat kata dengan istilah yang mereka buat sendiri. Kurangnya pembendaharaan kosakata. Serta kesulitan menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan terutama dalam menulis cerpen.

Hal tersebut setelah saya telusuri dan bertanya langsung pada peserta didik didapatkan jawaban bahwa peserta didik sudah terbiasa melakukan hal ini sedari SD sehingga kebiasaan seperti itu masih terbawa sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Hal ini sudah saya buktikan dalam memberikan latihan. Terdapatnya peserta didik yang masih menulis kalimat dengan penggunaan EYD dan tanda baca yang masih keliru.

Ditambah lagi pada kurikulum 2013 ini, pelajaran bahasa Indonesia adalah berbasis teks. Sebagian siswa merasa enggan untuk membaca teks yang panjang. Jangankan untuk mengerjakan latihan, membaca soal dalam ujian semester saja mereka enggan dengan alasan teks yang terlalu panjang.

Di sinilah peran saya sebagai guru bahasa Indonesia menjadikan pelajaran bahasa Indonesia disenangi oleh siswa. Saya mencoba masuk pelan-pelan menanamkan budaya literasi membaca dan menulis pada peserta didik. Mengoreksi hasil kalimat yang mereka buat dan mengulangnya kembali hingga benar. Mencoba menerapkan strategi dan media pembelajaran yang tepat dan bervariasi. Mendesain LKPD yang menarik buat peserta didik sehingga mereka mampu untuk menuliskan cerpen karya mereka.

Kebiasaan menulis ini bisa diasah sedari kecil. Misalnya dengan mencatat kegiatan harian di buku diari atau menuliskan peristiwa yang lucu yang telah dialami siang tadi. Dengan membiasakan kegiatan itu, siapapun bisa melahirkan sebuah karya tulisan yang apik asalkan ada kemauan.

Namanya juga belajar, butuh pemahaman dan konsentrasi penuh dalam menciptakan sebuah cerpen. Hasil penilaian membuktikan 60 % siswa bisa mengerjakan tugas tersebut. Hal ini sudah membuat saya sedikit lega dengan hasil yang mereka capai. Ini merupakan PR bagi guru meningkatkan keterampilan dalam menulis cerpen.

Rendahnya keterampilan dalam menulis menjadikan ini sebuah tantangan buat saya bagaimana caranya meningkatkan keterampilan tersebut. Saat pandemi melanda kemarin, saya mengajak peserta didik untuk menuliskan sebuah tulisan cerpen atau puisi pada blog pribadi saya. Mengadakan sebuah kompetisi menulis pada kelas yang saya ajar. Melalui WAG kelas, saya memotivasi peserta didik dengan mengirimkan sebuah cerpen yang saya tulis pada blog pribadi saya.

Bermula dari kompetisi tersebut ada kemauan dan minat dari peserta didik untuk ikut berpartisipasi menghidupkan kembali budaya literasi kala pandemi sedang mewabah. Tulisan yang mereka kirimkan tersebut saya koreksi dan dikomentari bagian mana yang kurang baik. Maka didapatlah pemenang juara 1, 2, 3 dan harapan 1 dan 2. Selain itu, saya juga memberikan reward kepada pemenang sebagai motivasi untuk melecutinya.

Selain itu, untuk menuangkan minat dan bakat peserta didik dalam  menulis disediakan kolom mading pada kegiatan ektrakulikuler mading. Sekali dalam sebulan masing-masing anggota kelompok mading dapat memajang hasil karyanya pada papan mading sesuai dengan tema yang diangkat. Hasil karya terbaik mereka mendapatkan hadiah dari koordinator mading.

Harapan demi harapan terus terpancar dari peserta didik yang saya bimbing. Berkat tekad dan semangat yang kuat, saya berhasil menelurkan buku perdana dengan judul “Mama Kedua”. Sebuah buku antologi puisi dan cerpen yang layak untuk dibaca bagi kaum pelajar yang ceritanya ringan dengan menggunakan bahasa yang khas. Buku ini khusus saya hadiahkan bagi peserta didik yang mau dan ingin membudayakan menulis.

Tidak hanya itu, saya menginginkan agar peserta didik dapat membaca karyanya pada sebuah buku antologi cerpen dan puisi yang bertuliskan nama mereka sendiri. Sebuah buku kenang-kenangan dari kelas IX yang sudah menamatkan pendidikan menengahnya di madrasah. Juga tulisan kolaborasi dari guru-guru yang mempunyai bakat dalam menulis. Ide ini sudah lama saya idam-idamkan tapi terkendala karena sesuatu hal dan tertunda sampai saat ini. Mudah-mudahan untuk tahun pelajaran 2022 ini bisa terwujud.

Tidak berhenti sampai di situ saja, saya mempunyai keinginan melahirkan buku kedua seperti novel. Melalui dunia kepenulisan ini saya berkomitmen untuk terus menulis dan melahirkan sebuah karya. Dengan mengikuti kegiatan pada Forum Lingkar Pena, saya merasa sangat terbantu akan ilmu-ilmu baru dalam menciptakan sebuah tulisan.

Terdapat pesan dari bapak Pramoedya Ananta Toer yaitu, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejara. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Pesan yang disampaikan oleh bapak Pram mengandung makna bahwa hasil tulisan yang kita buat akan tetap hidup walaupun kita sudah tidak ada di dunia dan nama kita akan selalu dikenang di masyarakat maupun sejarah.

Fide Baraguma
Fide Baraguma Ibu dari dua jagoan hebat yang mengabdi diperbatasan Sumatera Barat dan Jambi

Posting Komentar untuk "Membumikan Budaya Literasi Pada Peserta Didik"