Penantian Buah Hati Ketiga


Mama hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Terbujur di atas tempat tidur. Perasaan tak tenang tergambar diraut wajahnya. Aku memperhatikan mama di balik pintu jendela kamarnya.

Lima menit kuberdiri di depan pintu mengamati mama yang sedang gelisah. Sudah lima kali juga kuhitung, mama membuang muntahnya pada sebuah ember penampung muntah yang berada di bawah tempat tidur.

Tak ada satupun makan yang masuk ke mulut mama, kecuali air dan permen perisa jeruk. Hanya itu yang bisa diterima oleh tubuh mama ketika sedang hamil anak ketiga.

Waktu itu aku berumur 12 tahun sedangkan adikku 7 tahun. Papa sangat berharap, jika bayi yang lahir nanti berjenis kelamin laki-laki. Lengkap sudah harapan keluarga kami jika semua ini terwujud.

Hari telah berganti minggu  dan minggu telah berganti bulan. Sudah genap 8 bulan usia kandungan mama. Saat itu, mama sudah bisa merasakan nikmatnya makanan yang masuk ke tubuh mama. Semua makanan yang diinginkan dimakan agar cabang bayi yang ada diperut mama tumbuh dan berkembang dengan sehat. Tak lupa juga meminum susu dan vitamin.

Sudah saatnya mama mengecek kandungan. Tempat berkonsultasi mama seputar masalah selama kehamilan adalah di bidan langganannya. Selama sebulan ini mama tidak ada merasakan keluhan apapun. Kondisi mama sehat walafiat.

Papa pergi menemani mama untuk mengecek kandungannya. Waktu itu adalah puasa ke 26 di bulan ramadan. Aku berdoa agar semua baik-baik saja. Saat itu, aku sedang bermain bersama adik di halaman rumah. Tiba-tiba tanteku datang bersama anaknya mengabarkan kepada nenek bahwa mama harus segera dirujuk ke rumah sakit karena hasil tekanan darahnya tinggi.

Anak berusia 12 tahun seperti aku hanya bisa menangis  mendengar rumah sakit dan membayangkannya. Sepupuku langsung menenangkanku dan juga adikku. Membujukku untuk berhenti menangis.

Tanteku segera mengemasi pakaian mama yang akan dibawa ke rumah sakit. Segala keperluan mama di rumah sakit, tanteku yang mengurusi. Aku ikut bersama tante ke rumah sakit. Sedangkan adikku tinggal bersama nenek di rumah.

Bau aroma rumah sakit sudah tercium jelas. Di sana tertulis jelas IGD. Aku sempat melihat mama dibawa oleh petugas menggunakan  kursi roda ke dalam ruangan itu. Perasaanku waktu itu bercampur baur. Gelisah, takut, khawatir takut terjadi apa-apa dengan mama.

Cemas tak karuan. Itulah perasaan yang dirasakan oleh anak yang menginjak SMP ini. Aku masih ingat dengan jelas, mama dirawat di ruangan paling ujung. Sudah 2 hari lamanya mama di rawat tetapi dokter yang seharusnya menangani mama tak melakukan apa-apa selain menunggu dan mencek tensi mama.

Tidak ada tindakan darurat yang mesti ditangani oleh dokter tersebut. Apalagi yang mesti ditunggu? Pikirku dalam hati. Semua keluarga termasuk papa tidak tahan atas tindakan RS tersebut. Papa hilang kendali dan tersulut emosi tak sadar tangannya memukul meja yang berada di ruangan itu.

Tanteku berusaha menenangkan. Semua tak bisa terelakkan. Kondisi kesehatan mama turun drastis. Tak mau makan dan sering muntah-muntah. Sampai hari ketiga mama dirawat di rumah sakit bertepatan dengan malam ke 27 di bulan ramadhan, mama menghembuskan napas terakhir.

Waktu itu aku tak sempat melihat kepergian mama. Tidak diberitahu sebelumnya oleh nenek, hanya suara ambulanlah yang mengisyaratkan kepadaku. Jenazah mama dibawa ke dalam rumah. Aku seakan tak percaya dengan peristiwa ini. Lama ku termenung melihat tubuh mama terbujur kaku di atas kasur.

Apalagi seisi rumah dipenuhi oleh isak tangis keluargaku. Papa tak kuasa menahan air mata. Matanya merah dan sembab. Ditambah oleh ratapan nenek dan tanteku yang memecahkan suasana kala itu.

Beberapa orang yang melayat mendekatiku dan mengusap-usap kepalaku sambil berucap,
“Yang sabar ya nak.”

Dengarkan versi suaranya ya…😊
Fide Baraguma
Fide Baraguma Ibu dari dua jagoan hebat yang mengabdi diperbatasan Sumatera Barat dan Jambi

Posting Komentar untuk "Penantian Buah Hati Ketiga"