Penantian Alya Bagian Kedua
Kali keduanya aku dikecewakan oleh lelaki. Rasanya tidak ada ruang bahagia untuk takdir hidupku. Mungkin inilah nasibku sebagai seorang wanita yang hidup merantau.
Meskipun sudah berusaha untuk bahagia, namun seolah kebahagiaan enggan untuk menghampiri. Padahal sebelumnya aku berharap Adilah pelabuhan terakhir hati ini. Namun takdir berkata lain, meskipun janur kuning belum terlihat aku tidak ingin memperjuangkan seseorang yang tidak ingin ku perjuangkan.
Dokumen laporan yang harus ku selesaikan bersama Adi dan Kevin masih menumpuk di meja. Aku berharap pekerjaan ini cepat selesai dan aku bisa punya waktu untuk libur atau cuti menenangkan diri.
Aku ingin pergi sejenak meninggalkan semua kerumitan yang ada. Menghilang sekejap dari masalah yang melanda.
“Ayo kita selesaikan segera,” ajakku pada Adi dan Kevin. Setelah seharian kami berkutat dengan laporan, akhirnya selesai juga. Ku pacu motor metikku meninggalkan kantor sore itu. Aku ingin pulang kampung sejenak.
Suasana damai dikampungku dikelilingi pepohonan rindang. Tidak ada kebisingan seperti di kota, semua masyarakat hidup berdampingan.
“Alya, mana calon menantu ibu?” Itulah kalimat ibu yang membuat lukaku kembali menganganga. “Kalau tidak ada, berarti ibu yang menyiapkan ya.” Kalimat wanita paruh baya tersebut seolah menuntut. Aku hanya diam, mungkin pilihan ibu boleh juga, pikirku.
“Nak, sudah saatnya kamu memikirkan masa depanmu. Tidak baik berlarut-larut pada masalah. Selesaikan segera,” tegas ibu.
“Ini masalah hati bu. Tidak semudah itu,” memberikan penjelasan sambil memeluk ibu.
Keesokan harinya ibu mengajak seorang pria yang tampan datang ke rumah. “Alya, kamu masih ingat Dika anak Bu Suci?”
Dia juragan petani cabe di kampung ku. Aku ingat betul bahwa Dika adalah anak yang manja karena satu-satunya. Ia datang ke rumah dengan membawa makanan kesukaan ibu. Martabak bandung. Dika pandai mengambil hati ibu, tapi tidak hatiku.
Sementara pilihan ibu belum aku pastikan. Aku tidak ingin memberikan harapan. Hanya saja kalau jodoh pasti dipertemukan kembali.
Tanpa terasa, hari pernikahan Adi semakin dekat. Bahkan surat permohonan cutinyapun sudah ku lihat beberapa hari yang lalu. Aku ingin istirahat dan melupakan semua yang ada.
Hujan semalam masih membawa luka. Mungkin inilah gambaran hatiku yang lagi berduka. Gagal menikah. Itulah takdir yang harus aku terima. Entahlah, mungkin inilah jalan hidupku.
Bersambung…
Posting Komentar untuk "Penantian Alya Bagian Kedua"
Posting Komentar