Penantian Alya Bagian Akhir


Kurebahkan diri sejenak, meskipun mata ini sulit untuk dipejamkan. Kejadian demi kejadian hingga gagal menikah terus menghantui. Waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi. Cacing dalam perutku mulai berontak.

Kulangkahkan kaki dengan gontai, bersiap untuk ke luar membeli sarapan. Namun, sebelum berangkat terdengar ketukan di pintu. Aku berpikir tidak ada yang tahu aku kembali. Mungkin pemilik kontrakan, pikirku. Dari balik gorden ku lihat sosok seorang laki-laki. Dika, bisikku dalam hati.

Dika merupakan sahabat semasa kecilku. Laki-laki manja yang sehari-hari bermain denganku. Putih, tinggi dan tampan pula. Jarak rumahku dengan rumah Dika hanya 30 langkah. Kami selalu berangkat sekolah bersama sejak SD hingga SMA.

Siapa yang tidak kenal Dika. Anak juragan petani cabe dikampungku. Anak semata wayang dari keluarga yang cukup kaya. Meskipun berasal dari keluarga cukup kaya, Dika tidak memilih-milih teman dalam bergaul. Ia anak rumahan dengan segala fasilitas yang sudah tersedia.

Pulang sekolah, Dika selalu mengajakku ke rumahnya untuk mengerjakan PR bersama bahkan bermain bersama. Sehingga ibunya Dika memanggilku dengan sapaan mantu.

Banyak gadis yang tergila-gila pada Dika, tetapi ia hanya menyukai diriku saja. Setelah menamatkan pendidikan di SMA, aku dan Dika kuliah di kota yang berbeda. Karena keterbatasan dana, aku kuliah di universitas negeri di kota, sedangkan Dika kuliah di universitas swasta di luar kota.

Sejak kuliah, aku dan Dika tidak ada komunikasi sama sekali. Hubungan kami berhenti sampai di sana. Selain karena keterbatasan jarak, aku juga mulai belajar melupakan perasaan pada Dika. Karena Aku tidak mau banyak berharap, meskipun belum ada ikatan atau ikrar antara kami berdua.

Pagi itu Dika datang menghampiri kontrakanku. Sudah lebih dari lima tahun tidak pernah ada kontak antara kami berdua. Terakhir ku bertemu Dika kemarin di kampung.

“Alya, aku rindu”. Itulah kalimat pembuka percakapan kami. Dika ditugaskan bekerja di sebuah perusahaan yang tidak jauh dari kantorku. Mulai saat ini Dika hidup satu kota denganku.

“Mari kita mulai dari awal lagi Alya,” Dika menatapku tajam penuh harap. Aku menerima kembali ikatan ini. Dan aku berharap semoga Dika adalah pelabuhan hatiku untuk yang terakhir kali.

Alya, aku tunggu kamu di taman ya, pesan wa dari Dika. Kami berjanji sepulang ngantor nanti pergi makan bakso langgananku yang tak jauh dari taman kota. Dika selalu menyempatkan waktu untuk menjemputku pulang. 

Sudah satu bulan, aku dan Dika menjalani hari-hari bak sepasang sejoli. Dika memantapkan hatinya untuk melamarku. Ia meyakinkanku bahwa dirikulah wanita terakhirnya. Aku juga sudah dapat informasi dari ibu, jika orangtua Dika akan bersilaturahmi ke rumahku untuk menetapkan hari istimewa itu.

Ku bersihkan diri, bersuci dan menenangkan hati. Ku bersujud menghadap ilahi disepertiga malam. Ku pasrah dan berdoa menyerahkan semua pada yang Maha Kuasa.

Persiapan demi persiapan sudah diatur dan ditata apik. Hingga hari bahagia itu tiba. Semoga acara pernikahanku bersama Dika berjalan dengan lancar esok.

Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Mata ini belum terpejam juga. Khawatirku kian melanda akan esok yang sudah di depan mata. Bayangan Kevin dan Adi menari-nari dibenakku.

Dua lelaki yang pernah hadir mengisi hari-hariku. Ah, kenapa aku memikirkan mereka. Toh, mereka juga sudah punya jalan hidupnya masing-masing. Hei, Alya. Dika akan segera menjadi pendamping hidupmu. Lamunanku disentakkan oleh lantunan azan subuh yang menggema.

Pagi itu tampak damai. Mentari bersinar cemerlang. Aku yang dari tadi duduk berdampingan bersama Adi menunggu pak penghulu datang. Beliau meminta maaf atas keterlambatannya karena padatnya jadwal.

Dalam hitungan menit, statusku sudah berubah menjadi istri Dika yang sah. Proses ijab qabul berjalan dengan lancar di dalam masjid itu. Tangisku pecah saat bersimpuh dipangkuan ibu. Ibu memelukku erat tumpah ruah dalam acara sakral itu. Aku dan Dika resmi menjadi suami istri.

Semua rekan kerjaku pun datang dan menyaksikan langsung proses pernikahanku. Memberikan selamat dan kado di hari istimewaku.

Mas Dika, selamat ya. Perempuan berkedung merah muda itu menyalami Dika. Siapakah perempuan itu??? Satu pertanyaan menunggu untuk dijawab.

Fide Baraguma
Fide Baraguma Ibu dari dua jagoan hebat yang mengabdi diperbatasan Sumatera Barat dan Jambi

Posting Komentar untuk "Penantian Alya Bagian Akhir"