Di sini, di batas ini. Aku mengabdi.


Sudah dua pekan berada di perbatasan setelah pasca lebaran. Berharap datang ke sekolah bertemu kawan. Namun virus corona belum juga hilang. Dan hanya bertugas di rumah depan.

Awal tahun 2011 adalah bulan pembaktianku pada negara. Diterima sebagai pendidik di salah satu madrasah yang terletak diperbatasan Sumatera dan Jambi. Waktu itu aku masih gadis yang tinggal di kota bersama nenek dan adikku.

Entah kenapa tempat ini adalah sasaran utama ku dalam memilih penempatan pada seleksi penerimaan CPNS. Ketika itu, hanya ada dua pilihan. Diperbatasan Sumatera bagian Utara dan Selatan.

Mungkin karena daerahnya aman menurutku. Mengingat pada waktu itu sedang maraknya bencana gempa yang mengguncang ibu kota Sumatera Barat. Maka pilihanku jatuh pada daerah ini.

Hanya bermodalkan nekat dan tekad yang bulat mengikuti seleksi CPNS. Meminta saran dari orang-orang terdekat. Dimana pada saat itu aku masih fresh graduated. Mencari pekerjaaan yang cocok di passionnya.

Aku bersaing dengan ratusan pelamar yang mengikutinya. Hanya ada satu orang yang akan dipilih pada setiap bidang yang dibutuhkan lembaga tersebut.

Membanggakan orang yang telah berjasa menguliahkan ku hingga sarjana. Itulah tujuan hidupku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka yang sudah bersusah payah membantuku melanjutkan sekolah. Semenjak kepergian mama di saat aku masih berumur 12 tahun.

Aku dan adik perempuanku satu satunya dibesarkan oleh nenek yang menjadi pengganti ibuku pada saat itu. Meskipun masih ada papa yang sesekali datang menengokku karena beliau sudah punya yang baru.

Adalah tanteku yang bertekad membiayai sekolah ku hingga meraih sarjana. Dukungan materi dan moral terus mengalir kepada kami. Hingga pada saat itu, adikku memutuskan untuk menyudahi kuliahnya yang baru memasuki semester kedua. Ini dikarenakan oleh biaya kuliah yang sempat tarik ulur karena tanggungan beban keluarga besar ku.

“Cukup kakak saja yang kuliah. Aku berhenti saja”. Itulah kalimat terperih yang dilontarkan oleh adikku kepadaku. Keputusan adikku sempat ditentang oleh keluarga. Tapi keinginannya tuk berhenti tidak dapat diterpa.

“Apa gunanya aku kuliah, hanya ngabisin duit saja. Sementara otakku tak mampu mencerna. Tak usah dipaksakan. Lebih baik mundur, tuk maju selangkah”.

Masih terngiang jelas di telingaku. Perkataan adikku yang membuat orang mendengarnya tertampar. Mau marah, jengkel, sedih atau bahkan kecewa dengan sikapnya. Semua itu kembali lagi pada dia yang menjalaninya.

Terhitung tanggal 1 Januari 2011. Namaku tertulis pada selembar kertas yang mengantarkanku berada diperbatasan. Laksana orang yang masih awam dengan tempat yang belum ku kenal. Beruntung kawan dari pamanku tinggal di tempat ini.

Melalui bantuannya, aku mulai diperkenalkan pada lingkungan sekitar. Dia menitipkan ku pada sanak saudaranya yang kebetulan mempunyai kos-kosan yang jaraknya tidak jauh dari tempatku bekerja.

Di sinilah garis hidupku di mulai. Meninggalkan nenek dan adik tercinta di kampung halaman. Berusaha membiasakan hidup sendiri meskipun sebelumnya belum pernah ku jalani.

Awalnya sempat terlintas dibenakku. Berpisah dari orang-orang yang ku sayangi. Tinggal di tempat yang belum pernah ku lalui. Tapi setelah ku jalani semua, pemikiran picikku terhadap daerah ini hilang begitu saja.

Aku diperlakukan bukan sebagai pendatang. Sambutan hangat dari masyarakat di sana membuatku betah untuk tinggal berlama-lama. Aku mulai beradaptasi dengan lingkungan. Bergaul dengan rekan sejawat yang kebanyakan pribumi. Hanya dua diantara kawanku yang berasal dari luar daerah.

Suka duka ku lalui. Pahit manisnya hidup sendiri diperantauan. Belajar hidup mandiri di tengah tempat yang sudah mengajarkanku melatih keegoisan diri.

Kini, sembilan tahun sudah ku mengabdi. Berharap dapat surat pindah ke kampung suami. Tapi langkahku terhenti atas kebijakan dan aturan rumit yang menahanku untuk tetap berada di tempat ini.

Asaku pupus tuk segera dapat berkumpul bersama keluarga kecilku. Aku, suami dan kedua putraku hidup terpisah. Semenjak si sulung masuk sekolah TK. Keputusan ini diambil mengingat memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anakku.

Setiap akhir pekan tiba, aku pulang ke kampung suami. Menemui mereka yang sudah ku tinggalkan seminggu lamanya. Di sinilah peran ku sebagai seorang ibu dimulai.

Melepaskan semua kerinduanku yang tertahan selama aku berada di perbatasan. Ku coba memberikan yang terbaik untuk mereka. Menghabiskan waktu untuk bersama. Memasak makanan kesukaannya, bermain bersama dan melawati indahnya perjalanan dengan mengunjungi tempat wisata hanya dalam satu hari saja.

Hari menunjukkan pukul 19.00 WIB. Travel jemputanku tiba. Itu berarti waktuku untuk mereka hari ini sudah habis. Ku simpan segala gudah di dada. Menyembunyikan perih harus berpisah dari mereka. Cerita itu akan ku ulang kembali saat akhir pekan berikutnya tiba.

Di sini, di batas ini. Sabtu, 06062020

Fide Baraguma
Fide Baraguma Ibu dari dua jagoan hebat yang mengabdi diperbatasan Sumatera Barat dan Jambi

Posting Komentar untuk "Di sini, di batas ini. Aku mengabdi."