Haruskah Menulis Menjadi Bumerang dalam Kenaikan Pangkat Guru?
Berbicara mengenai kanaikan pangkat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya bagi guru merupakan salah satu satu tujuan agar memperoleh pangkat atau golongan naik setingkat dan juga untuk mensejahterakan keluarga. Oleh sebab itu, ada peraturan yang harus diikuti oleh para guru demi mencukupi kebutuhan angka kredit.
Salah satunya adalah pengembangan diri menulis karya tulis ilmiah. Kita dituntut untuk melahirkan sebuah tulisan yang nantinya akan diseminarkan dilingkungan sekolah, nasional, bahkan internasional.
Tulisan-tulisan tersebut diantaranya: Makalah, PTK (Penelitian Tindakan Kelas), Karya Ilmiah, Artikel Ilmiah, Karya Ilmiah Populer, Diktat/Modul/Buku Pelajaran, Karya Terjemahan dan Buku Pedoman Guru. Semua itu menjadi tantangan terbesar bagi seorang pendidik.
Untuk bisa memperoleh poin pengembangan diri tersebut, para guru harus mempunyai keterampilan dalam menulis. Mereka harus mampu menuangkan ide untuk dirangkai menjadi sebuah tulisan yang utuh dengan mengikuti prosedur dan aturan-aturan dalam menulis.
Hal ini merupakan pekerjaan terumit bagi seorang guru, disamping tugasnya sebagai pendidik sehingga banyak diantara mereka yang sengaja molor dan sengaja menunda- nunda dalam mengurus kenaikan pangkat.
Untuk menjawab kegelisahan para guru, lembaga instansi di balai diklat mengambil suatu kebijakan untuk memberikan arahan kepada para guru dengan mengadakan workshop khusus untuk menulis karya ilmiah.
Dalam workshop tersebut dijelaskan secara rinci tentang bagaimana cara melahirkan sebuah karya tulis. Kita dibekali materi dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemateri. Berbagai respon pun muncul dari para peserta workshop. Ada yang serius, santai, atau hanya sekedar duduk dan mendengarkan pemateri.
Toh, nantinya kita akan diberikan sertifikat.
Tinggal bagaimana kita menyikapi keuntungan dan kerugian mengikuti kegiatan tersebut.
Seorang guru yang gigih dalam mengurus kenaikan pangkat harus kreatif dan profesional dalam melahirkan sebuah tulisan. Mereka akan bertanya sana-sini, mengevaluasi dirinya dimana letak kekurangan dalam menulis. Ini bagi yang serius dalam mengurus kenaikan pangkat.
Bagi guru yang kurang merespon kegiatan tersebut dengan alasan malas, materinya membosankan atau pematerinya buat ngantuk, hal itu berakibat pada dirinya sendiri.
Mereka dengan sadarnya mengurus kenaikan pangkat dengan mengikutsertakan tulisannya meng-copy paste dan menjiplak karya orang lain. Atau bahkan meminta jasa orang lain dalam menyusun Daftar Usulan Kenaikan Angka Kredit (DUPAK).
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya nama sekolah atau nama penulis asli pada tulisan yang mereka jiplak. Hal itupun tidak beralasan bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang yang baik dalam menulis. Ditambah dengan guru yang gaptek akan laptop. Itulah yang menjadi penyebab bahwa mereka sanggup membayar jasa orang lain dalam mengurus kenaikan pangkat.
Fakta tersebut hendaknya menjadi pertimbangan dan perhatian pemerintah yang mengharuskan menyematkan tulisan dalam kenaikan pangkat.
Meskipun menulis merupakan hal yang baik untuk pengembangan diri sesuai dengan tuntutan zaman. Akan tetapi pada kenyataannya hal ini sulit untuk diterapkan. Walaupun harus menyimpang dari koridor aturan yang dibuat.
Jika kita bandingkan antara guru dengan dosen memiliki jam wajib yang berbeda. Guru memiliki jam wajib mengajar sebanyak 24 jam dalam satu minggu, sedangkan dosen memiliki jam wajib berada di kampus selama 37,5 jam dalam satu minggu.
Akan tetapi, mereka memiliki waktu yang sedikit untuk mengajar selebihya digunakan untuk penelitian. Sementara guru menghabiskan waktu mengajar sehingga waktu untuk menulis menjadi sedikit.
Dalam tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan bukan bermaksud untuk menyinggung satu sama lain. Sewajarnya saja lah tugas yang diembankan kepada kami. Begitu banyaknya beban yang harus kami pikul, mulai dari mengajar yang melebihi kapasitas, administrasi yang rumit dalam pembuatan rpp, menyiapkan bahan ajar, mengikuti pelatihan, sampai pada permasalah siswa.
Untuk itu, jangan karena ketidakmampuan guru dalam menuliskan karya tulis dan menggunakan media khususnya laptop menjadi penghalang bagi mereka yang ingin mendapatkan pangkat yang lebih tinggi. Seperti yang terjadi kepada guru-guru yang berada pada golongan IV.a dan berhenti dititik tersebut karena semakin banyaknya tuntutan yang harus dilakukan untuk menuju golongan IV.b.
Saya merasa prihatin kepada kawan-kawan seprofesi saya dengan tuntutan menulis yang bukan menjadi hobi mereka. Karena menulis itu tidak bisa dipaksakan. Dan karena aturan yang dibuat mengharuskan untuk menulis, maka jalan itulah yang mereka tempuh.
Semoga saja rintihan kami ini didengar oleh para puan yang duduk disingga sana.
Ini hanyalah sekelumit pandangan opini dan pribadi. Tanpa bermaksud untuk menyinggung. Dan mohon maaf apabila ada kesalahan dalam berbagi pengalaman ini.
Posting Komentar untuk "Haruskah Menulis Menjadi Bumerang dalam Kenaikan Pangkat Guru?"
Posting Komentar